Harian EQUATOR – Pontianak. Sejak sirkuit batulayang yang menjadi perkara di pengadilan akibat dana bantuan sosial (bansos) Pemkot Pontianak, nama Walikota Sutarmidji mulai diseret-seret. Sutarmidji balas membuka borok para pejabat Pemkot terkait total dana Rp 21, 46 miliar itu.“Kalau dana sebesar Rp 1,8 miliar yang dipertanyakan, saya siap mempertanggungjawabkannya. Karena bukti pertanggungjawabannya jelas,” kata Sutarmidji kepada Equator, Senin (24/5).
Mantan Wakil Walikota ini sangat menyayangkan hal itu terjadi sebab dana bansos merupakan dana yang diperuntukkan keperluan sosial. Selain membeberkan uang yang diterimanya untuk Bansos, Sutarmidji pun menjelaskan dana Bansos pada tahun 2006-2009 yang banyak dimanfaatkan oknum tak pada tempatnya.
Misalnya saja untuk membeli obat kuat atau viagra jenis Cialis isi 10 buah sebanyak tiga box mencapai Rp 900 ribu. “Masa membeli obat kuat menggunakan dana bansos,” ungkapnya.
Tak hanya untuk membeli Viagra dari USA itu, Sutarmidji menerangkan oknum tersebut menggunakan uang bansos untuk membeli obat penumbuh rambut seharga Rp 170 ribu, dengan biaya ongkos kirim Rp 1,1 juta dibeli dari pusat kecantikan di Jakarta dengan nota tertanggal 13-01-2006 atas nama Hasan Rusbini.
Diakuinya, khusus pertanggungjawaban Bansos 2006 yang disalurkan melalui dirinya telah digelontorkan untuk pembinaan Satpol PP sebesar Rp 1 miliar, untuk BNK Kota Pontianak Rp 400 juta dan Rp 400 juta lain untuk pendanaan Bhakti TNI. Sedangkan sisanya Rp 600 juta dikembalikan ke kas daerah.
“Dana ke BNK itu saya belikan komputer untuk tiap Polsek yang ada di Pontianak. Setiap satu polsek mendapatkan dua unit komputer. Dana untuk TMMD di Kota Pontianak digunakan untuk perbaikan jalan dan saluran air di daerah nipah kuning dalam, jalan di gang lamtoro, di gang gunung pandan, dan gang belibis,” ujar Sutarmidji.
Memang, kata dia, waktu itu beredar ratusan proposal fiktif untuk mendapatkan dana Bansos. “Namun saya punya bukti siapa yang buat proposal dan siapa yang menyuruhnya. Bukti itu ada di bendahara pengeluaran keuangan,” papar pemilik sapaan Midji ini tanpa merinci siapa saja yang membuat dan menyuruh proposal fiktif tersebut.
Anehnya, dana bansos tersebut tak ada dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Padahal hasil kertas kerja Inspektorat Provinsi memasukkan dalam temuan yang tak dipertanggungjawabkan.
BPK Perwakilan Kalbar ternyata belum mengetahui adanya temuan Inspektorat Kalbar soal pemberian uang santunan dan bantuan organisasi kemasyarakat tahun 2006 sebesar Rp 1,8 miliar yang diterima Wakil Walikota Pontianak saat itu.
“Seingat saya bantuan itu belum pernah dilaporkan ke kita (BPK),” tegas Drs Mudjijono, Kepala BPK Perwakilan Kalbar didampingi Kepala Sub Auditorat Kalbar I, Drs Hernod M Si kepada Equator, kemarin.
Menurut Mudjijono, sesuai Pasal 9 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Keuangan Negara, Inspektorat memang memiliki kewajiban untuk menyampaikan hasil temuannya ke BPK. “Tapi untuk temuan ini, saya merasa belum diterima,” kata pria berkacamata tersebut.
Pasar Dahlia
Terhadap pemberitaan yang menyangkutkan dirinya dengan mantan Sekda Kota Pontianak dalam kasus penyertaan modal Pasar Dahlia Rp 8 miliar. Midji menolaknya. Menurut dia, laporan dikeluarkan oleh bendahara dan diserahkan ke BPK. “Hasil audit itu lah yang menjadi temuan dari BPK. Bukan saya yang melaporkan. Yang tahu bansos itu kan pak Hasan Rusbini. Jika itu salah, buktikan dan jangan marah dengan walikota,” ucapnya.
Ia menyarankan agar mantan Sekda Kota Pontianak tidak hanya memublikasikan kekesalannya di media massa karena menjadi tersangka dalam kasus Pasar Dahlia. Justru sebaliknya, laporan itu hendaknya dilaporkan ke kejaksaan agar bisa diproses. “Saya berbicara berdasarkan data yang ada. Kalau perlu saya siap memberikan data yang saya punya kepada pengacara pak Hasan apabila ini diperlukan dalam persidangan,” ungkapnya.
Terkait perkara korupsi sirkuit Batulayang yang menyeret mantan Ketua DPRD Kota Pontianak Gusti Hersan Aslirosa ke meja hijau, Sutarmidji siap memberikan keterangan, asalkan sesuai mekanisme dan prosedur.
“Karena saya kepala pemerintahan, untuk menjadi saksi mesti ada izin yang dikeluarkan oleh presiden. Tetapi jika prosedurnya saya tidak perlu mendapatkan izin dari presiden saya akan bicarakan apa yang saya dengar, saya alami sejelas-jelasnya,” katanya.
Namun sebelumnya ia menyarankan agar Sekda Kota Pontianak lah yang layak menjadi saksi. Sebab dalam hal anggaran, kepala daerah bukanlah ketua panitia anggaran eksekutif. “Memang otoritas keuangan ada pada kepala daerah, tetapi itu sudah didelegasikan ke sekda sebagai ketua tim anggaran eksekutif,” terang Sutarmidji. (boy)