Pontianak, 29 Januari 2019,– Setelah mengisi Kuliah Umum di Universitas Tanjungpura, Anggota VI BPK RI berkenan memberikan pengarahan kepada semua pegawai di BPK Perwakilan Kalimantan Barat. Acara pengarahan dimulai pada pukul 13.30 bertempat di Aula Kantor Perwakilan. Acara dipandu langsung oleh Kepala Perwakilan, yang dimulai dengan pengantar dan paparan terkait dengan kegagalan Perwakilan dalam memperoleh predikta Wilayah Bebas Korupsi (WBK) pada pembangunan Zona Integritas tahun 2018, antara lain karena adanya keluhan dari auditee atas keterbatasan waktu pemberian tanggapan atas temuan. Kemudian Kepala Perwakilan menyampaikan bahwa saat ini BPK Perwakilan Kalbar membutuhkan peremajaan gedung perkantoran agar kegiatan di Perwakilan dapat berjalan dengan nyaman.
Selanjutnya Anggota VI BPK RI memberikan pengarahan yang berisi antara lain terkait kondisi saat ini promosi mulai ketat, para auditor sulit untuk diklat sehingga perkembangan karir terhambat. Kemudian terkait dengan penyampaian temuan pemeriksaan, untuk temuan yang bisa dikomunikasikan, supaya dapat segera diselesaikan mengingat waktu yang pendek. Untuk opini Provinsi, karena tidak ada APBD Perubahan, ada kemungkinan menurun menhadi WDP, namun demikian tetap beri kesempatan agar Pemprov bisa memperbaiki semaksimal mungkin. Untuk entitas yang masih WDP agar diupayakan dengan pembinaan dan bimbingan dapat meningkat jadi WTP. Walaupun WTP bukan tujuan akhir, agar belanja berdampak langsung pada masyarakat. Cost harus memberi benefit, sehingga pemeriksaan agar tidak melihat compliance saja.
Penghitungan kerugian negara, agar hasil BPK jadi produk hukum legal demi ketegasan hukum. Edaran Mahkamah Agung mengakui bahwa dalam pengadilan, hasil BPK adalah yang diakui, tetapi tetap ada pemberian kewenangan pada Hakim untuk membuat diskresi. BPK mengharapkan agar pasal ini masuk ke UU. Untuk pemeriksaan Investigasi saya usulkan agar diperiksa Perwakilan. Namun, memang saat ini yang dipegang perwakilan hanya di bawah 1 miliar dan bukan kepala daerah. Padahal, melihat aturan perbendaharaan keuangan negara, kurang dari 5M adalah kewenangan Kepala daerah. Oleh karena itu, saya ingin, kewenangan Perwakilan mengikuti pembagian tersebut.
Untuk yang akan datang agar Perwakilan menjadi BPK mini. Rujukan yang bisa digunakan adalah BPK China. Mereka bisa memeriksa dana instansi vertikal. Kemudian dari segi anggaran masih dibatasi, tidak sampai 0,5% APBN. Adanya dana yang tidak bisa diperiksa BPK. Dana desa kurang lebih 80 triliun. Namun, jumlah entitasnya yang banyak tidak sanggup kita tangani. Artinya, BPK membiarkan dana sebesar itu tidak terawasi.
Anggota BPK perlu ditambah dua orang internal untuk menjadi Anggota menjadi 11 orang atau setidaknya dari sembilan, dua orang adalah internal BPK. Tiap perwakilan hendaknya membahas hasil pemeriksaan yang berkaitan dengan pencapaian kesejahteraan. Bila Juni diserahkan, Julinya diskusi bersama stakeholder (BI, OJK, instansi vertikal di Kalimantan Barat). Dalam UUD, tujuan pemeriksaan BPK adalah keterbukaan, bertanggung jawab, digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Untuk transparansi sudah masuk dalam proleg, tanggung jawab sudah diwujudkan dengan pemberian opini. Cara kita memberikan simpulan bahwa ketika Pemerintah mengelola keuangan daerah dengan baik, bisa mensejahterakan, bisa menjadi terobosan kita dalam ilmu akuntansi. Untuk pemeriksaan kinerja perlu menentukan alokasi belanja daerah apa yang bisa menurunkan angka kemiskinan baik langsung atau tidak, untuk kita rekomendasikan kepada DPRD supaya anggaran sektor tersebut dapat dialokasikan lebih besar.
Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab, beberapa pegawai yang mengajukan pertanyaan, yaitu Guruh dan Suhaibah terkait dengan Permenpan Nomor 49 Tahun 2018 tentang Jabatan Fungsional BPK yang berpengaruh signifikan. Sebelumnya, dalam hal kenaikan jenjang Pemeriksa berdasarkan Peraturan BPK Nomor 4 Tahun 2010 sudah jelas. Permenpan ini dapat menurunkan motivasi. Sebelumnya, ada 6 tingkatan: ATY, ATS, KTY, KTS, PT, dan Pengendali Mutu. Namun aturan baru hanya 4 jenjang: Pemeriksa Ahli Pertama, Muda, Madya, dan Utama. Aturan baru menjadikan usaha yang telah dilakukan untuk menaikkan jenjang sesuai dengan aturan lama menjadi tidak digunakan. Dihapus begitu saja, tanpa konversi yang jelas. Peran sebelumnya masih tidak jelas menjadi peran apa di aturan baru. Aturan baru menjadikan terhambatnya kenaikan pangkat di fungsional. Bagaimana proses transisi untuk mengantisipasinya? Remunerasi berdasarkan jenjang peran. Berkaitan dengan pertanyaan sebelumnya, bagaimana kejelasannya? Sementara Suhaibah menanyakan terkait dengan rencana spesialisasi auditor. Wacana yang pernah didengar, BPK berniat berfokus ke non LK. Sebagai non akuntansi, sejenis dengan pemeriksaan investigasi, saya berharap ada spesialisasi melalui pemeriksaan kinerja atau PDTT. Adakah rencana ke sana? Senada dengan Guruh, regulasi baru mempersulit pegawai, khususnya pegawai baru. Bagaimana penguraian tiap layernya, bagaimana pemberian kesempatan bagi yang sebenarnya sudah memiliki kualifikasi?
Atas beberapa pertanyaan tersebut Anggota VI BPK RI menjelaskan antara lain bahwa pola baru, khususnya konversi, memang belum dirumuskan di Sekjen. Hal ini sulit diputuskan karena berdampak dengan penghasilan. Permasalahan konversi dan assesment merupakan hal yang sulit. Tidak dapat dipungkiri, pejabat yang sudah bertahun-tahun, bisa saja gagal dalam assersi karena berbagai alasan. Pengimplementasian ini bergantung pada Sekjen, dan Biro SDM.
Pada saat BPK berfokus pada pemeriksaan kinerja, tidak berarti peran akuntan menjadi hilang. Dalam audit kinerja, dibutuhkan multi disipliner, sedangkan LK adalah akuntan. Secara aturan, non-akuntan dilarang menandatangani LHP. Meskipun demikian, ada pendapat, kala menjadi pimpinan BPK, dianggap sebagai pemberian mandat dari konstitusi sebagai akuntan negara. Hal ini tidak disetujui oleh akuntan. Kondisi saat ini, pemeriksaan di BPK: keuangan berkisar 50%, PDTT 30%, dan kinerja hanya 20%. Kebutuhan akan multi disiplin ilmu dalam pemeriksaan kinerja adalah agar hasil pemeriksaan bersifat komprehensif. Audit kinerja masih bersifat tematik. Padahal, seharusnya komprehensif. Berkaitan dengan belanja pegawai,”ada moratorium penerimaan CPNS. Ada juga, seleksi lagi, yang tidak sesuai, dikasihkan pesangon untuk di-PHK-kan. Untuk pegawai yang tinggal sedikit, dinaikkan lah gajinya… Yang naik gaji, akan membuat pegawai semakin produktif.” Namun kebijakan ini tidak ada yang mengambilnya karena tantangannya sangat besar. Masa transisi aturan, umumnya tidak dielaborasi dengan baik sehingga kadang ada pihak yang dirugikan