JK Yakin Dahlan Tak Korupsi

JAKARTA – Dukungan untuk Dahlan Iskan yang sedang berjuang menghadapi dugaan kriminaliasai hukum bermunculan. Wakil Presiden Jusuf Kalla pun menyampaikan simpatinya pada Dahlan. JK tidak yakin Dahlan terlibat dalam kasus dugaan korupsi di PT Panca Wira Usaha (PWU) Jawa Timur.

JK menceritakan sudah bersahabat lama dengan Dahlan. Salah satunya JK dan Dahlan berkolaborasi dalam pembuatan koran di Makassar yang jadi kampung halaman JK. Secara khusus JK pun prihatin dengan keadaan yang dialami Dahlan saat ini.

“Pertama saya mau sampaikan simpati yang dalam atas yang dihadapi oleh Mas Dahlan. Dahlan kawan saya lama sejak pertama kali Jawa Pos ke Makassar,” ungkap dia siang kemarin (28/10) di Kantor Wapres Jalan Medan Merdeka Utara.

JK juga mengikuti kasus yang menimpa Dahlan. Misalnya JK menerangkan kalau kasus dugaan korupsi terjadi saat Dahlan masih menjabat sebagai dirut perusahaan daerah. JK mengungkapkan memang semua harus menyerahkan pada proses pengadilan.

Tapi dia ragu Dahlan terlibat dalam kasus dugaan korupsi di perusahaan daerah. “Saya gak yakin pak Dahlan punya niat (korupsi) seperti itu ya. Tapi banyak hal di Indonesia memang selama ada masalah ya dihubung-hubungkan terus,” tegas JK.

Namun, JK mengungkap bila ditengarai ada kriminalisasi dalam satu kasus termasuk yang menimpa Dahlan tentu bisa diproses. JK menyarankan untuk menempuh jalur hukum lewat praperadilan.

Mengenai ucapan Dahlan yang menyebut ada keterlibatan orang yang berkuasa, JK tidak yakin yang dimaksud adalah pemerintah Joko Widodo. Sebab, Dahlan juga pernah menjadi bagian dari tim sukses Jokowi-JK. “Jadi tidak mungkin penguasa dalam ukuran di sini, di Jakarta ini berbuat seperti itu,” imbuh dia.

Sementara Sekretaris Komisi Kejaksaan (Komjak) Barita Simanjuntak menjelaskan, sebenarnya perlu dikaji ulang, apakah jaksa ini membidik korupsinya, perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang. ”Kasus ini tentu perlu ditelisik apakah dapat dengan sederhana dibuktikan atau membutuhkan penilaian auditor,” paparnya.

Bila ternyata kasus tersebut membutuhkan peran auditor, maka seharusnya menunggu dari Badan Pemeriksa Keuangan atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Tentu, untuk melihat kerugian negaranya, serta mengetahui apakah ini merupakan pidana atau hanya pelanggaran administrasi. ”Semua itu perlu untuk diketahui,” jelasnya.

Lalu, bagaimana dengan penahanan yang berpotensi mengancam nyawa Dahlan? Dia menuturkan bahwa seharusnya pertimbangan kesehatan itu disampaikan ke penyidik. Lalu, penyidik juga harus memiliki second opinion untuk memastikan semua itu. ”Kalau second opinion juga menyebut membahayakan, berarti faktanya sakit. tentu penyidik harus mempertimbangkannya,” tuturnya.

Seorang tersangka itu tetap memiliki hak yang harus dipenuhi penyidik. Walau, penyidik memiliki kewenangan menahan berdasarkan subyektifitas. Seperti, melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan semacamnya. ”Tersangka itu memiliki hak azazi,” tegasnya.

Di sisi lain, Barita mengatakan bahwa bila memang ditemukan adanya pelanggaran, tentu ada beberapa langkah yang bisa ditempuh. Yakni, melaporkan pada Komjak atau Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas). ”Kalau memang dilaporkan ke Komjak, kami siap memprosesnya,” tuturnya.

Selain mekanisme pelaporan, dia mengatakan bahwa praperadilan juga merupakan langkah hukum yang bisa ditempuh untuk meluruskan semua yang kurang tepat. ”Semua itu bisa ditempuh,” ujarnya.

Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai ikut menanggapi peristiwa penahanan mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan oleh Kejati Jatim pada Kamis malam kemarin. Dia meminta agar aparat yang melakukan penahanan wajib menjamin hak-hak individu Dahlan selama menjalani masa tahanan hingga berkasnya nanti dilimpahkan ke pengadilan.

“Hak-hak dia di pengadilan nanti harus dihormati yakni hak untuk tidak dikekang, hak untuk menyatakan pendapat, pikiran, dan perasaan, hak untuk dibela, serta hak untuk tidak mendapatkan diskriminasi di hadapan pengadilan,” kata Nataliufs saat ditemui di Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat (Jakpus), kemarin.

Dia mengatakan bahwa pembatasan aparat terhadap hak-hak tersebut akan menjadi masalah yang serius. “Karena secara prinsip itu sangat bertentangan dengan HAM,” tegasnya.

Petinggi Komnas HAM kelahiran Papua tersebut juga menjelaskan bahwa upaya kriminalisasi terhadap warga negara oleh aparat juga tidak dapat ditolerir. Karena itu, dia berharap organ pewasanan di dalam institusi penegak hukum harus tetap berjalan.

“Karena itu setiap pencari keadilan atau setiap orang yang dirasa haknya dikorbankan bisa menyampaikan pengaduannya kepada institusi yang bersangkutan atau pengawas eksternal seperti Komnas HAM,” jelasnya.

Keyakinan bahwa kasus Dahlan bukan murni masalah hukum juga dilontarkan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Dia membandingkan dengan kasus Sumber Waras yang menyeret Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Keduanya merupakan kasus yang melibatkan pelepasan aset.

”Sumber Waras itu juga soal pelepasan aset lho. Kenapa Sumber Waras yang sudah ada temuan BPK tidak diproses? Sementara, kasus Pak Dahlan yang setahu saya tidak ada temuan BPK, diproses?” tutur Fahri, di Komplek Parlemen, Jakarta, kemarin (28/10). Perbedaan perlakuan tersebut menunjukkan kalau hukum sudah pandang bulu.

”Maka, cocok kata Pak Dahlan, dia diincar oleh penguasa,” tandasnya. Menurut dia, dengan membandingkan dua kasus itu, seorang pihak yang sedang berkuasa sedang melindungi satu kelompok. ”Lalu supaya nampak bekerja, dia menghajar kelompok lain. Inilah jahatnya hukum kalau sudah pandang bulu, bencanalah bangsa ini ke depan,” imbuhnya.

Berkaca pada kasus Sumber Waras, BPK telah menilai, proses pembelian lahan tersebut tidak sesuai dengan prosedur. Pemprov DKI membeli dengan harga lebih mahal dari seharusnya. Sehingga BPK dalam laporannya menilai ada kerugian negara sebesar Rp191 miliar.

BPK sudah melakukan audit investigasi atas pembelian lahan tersebut. Lembaga auditor negara itu menyebut ada enam penyimpangan dalam pembelian lahan Sumber Waras. Yaitu, dari tahap perencanaan hingga penyerahan hasil.

Namun, dalam proses penyelidikan awal, KPK tak menemukan adanya tindak pidana dalam kasus pembelian lahan milik RS Sumber Waras itu. Lembaga antirasuah tersebut tidak meningkatkan proses hukum ke tahap penyidikan.

Apakah dengan begitu, ada intervensi dari pihak tertentu atas kasus Dahlan? ”Ya sudah jelas ada intervensi. Jadi, santai saja, terbuka saja, ada apa sih? Kok bisa kasus yang sudah belasan tahun umurnya baru dibuka?” sindir Fahri, kembali.

Selain hal tersebut, dia juga menyoroti langkah kejaksaan yang langsung melakukan penahanan terhadap Dahlan. Tidak ada alasan subtantif untuk hal tersebut. Sebab, kata dia, Dahlan bukan orang yang ada kemungkinan lari. ”Dia ini kan orang Indonesia asli yang mengakar, punya banyak teman, mantan pejabat negara, pernah jadi dirut PLN, menteri BUMN, kongkrit kontribusinya. Bahkan, pernah membantu Pak Jokowi sebagai tim sukses setelah tidak meneruskan pencalonan (bakal capres) di Partai Demokrat,” beber dia.

Dia lalu menegaskan, kalau siap menjamin yang bersangkutan. ”Saya menjamin Pak Dahlan karena mengerti beliau, dari muda saya idolakan beliau sebagai wartawan senior. Jadi, nggak perlu lah nahan-nahan begitu,” imbuh Fahri.

Dia kemudian menyinggung pelaksanaan hukum di negara maju yang tidak lagi mengenal tahan badan. Seseorang baru akan ditahan kalau sudah dihukum. ”Ini cara berfikir hukum modern, dalam konsep hukum modern ngapain nahan-nahan orang, dia punya hidupnya sendiri,” tegasnya.

Kritik keras juga dilontarkan Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Dia juga menilai ada beberapa keanehan dalam proses hukum yang dikenakan terhadap yang bersangkutan. Terutamanya, keputusan baru mengangkat dan memroses kasus yang ada setelah sekian lama. ”Tentu, kami prihatin dengan apa yang terjadi,” kata Fadli.

Sebab, menurut dia, di saat yang sama masih banyak kasus yang jelas-jelas melanggar hukum tapi ternyata tidak diproses. ”Kami ingin hukum itu diterapkan secara adil, tidak diskriminatif. Kalau melihat kasus Pak Dahlan, jadi makin nyata bahwa hukum telah menjadi alat kekuasaan, alat politik,” tandasnya. (dyn)

Sumber: pontianakpost.co.id

Tanggal: 29 Oktober 2016

[teks asli]