Pontianak Post, PONTIANAK–Mantan Ketua Umum KONI Kalimantan Barat, Usman Ja’far mengatakan dirinya jarang dilibatkan dalam pengelolaan keuangan dan anggaran KONI. Karena itu, dia tidak mengetahui secara detil teknis persoalan tersebut. Namun dia mengakui administrasi keuangan di tubuh KONI memang kurang tertib. Menurut Usman, sejak dia diangkat sebagai Ketua Umum KONI, urusan keuangan dan anggaran selalu dipercayakan kepada Sekretaris Daerah Syamirman selaku Ketua III KONI bersama dengan bendahara, khususnya wakil bendahara dan Ketua DPRD Zulfadhli yang juga menjabat sebagai Ketua I KONI. Soalnya, selain menjabat sebagai pengurus KONI, kedua orang tersebut juga menjadi koordinator dalam pembahasan.
“Sebagai ketua umum saya jarang dilibatkan secara detil karena saya lihat sekda dan ketua DPRD yang ngerti masalah itu. Waktu itu saya gubernur, tidak punya cukup waktu untuk itu,” jelasnya saat dihubungi kemarin. Seperti diketahui, BPK Perwakilan Kalbar menemukan penggunaan dana bansos untuk Dewan Pembina Fakultas Kedokteran dan KONI Kalbar sebagian digunakan pimpinan dan anggota DPRD masa bakti 2004-2009. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2008, besar dana yang dipinjamkan kepada pimpinan dan anggota DPRD yakni Rp10,07 miliar. Pemberian pinjaman yang tidak sesuai dengan aturan tersebut dipandang telah mengindikasikan adanya kerugian daerah Rp10,07miliar.
Dari jumlah itu, menurut Sekda Kalbar Syakirman, masih ada Rp3,5 miliar lagi yang belum dikembalikan. Saat ini pemerintah provinsi sedang menunggu itikad baik dari pihak yang telah meminjam dana itu untuk segera mengembalikannya.Dijelaskan Usman Ja’far, dalam mengurus KONI, sesekali dirinya memang dilapori oleh bendahara soal anggaran dan pengeluaran, tetapi hanya bersifat global. Bahkan, dia juga tidak pernah menandatangani tanda terima dari kas daerah.
Menyangkut temuan Badan Pemeriksa Keuangan atas dana bantuan sosial KONI, Usman mengatakan bahwa dirinya belum pernah dipanggil atau dimintai klarifikasi oleh BPK. “Mungkin BPK juga tahu bahwa saya dan bendahara umum memang tidak mengerti masalah teknisnya,” kata pria yang kini menjabat sebagai anggota DPR RI itu. Ada berbagai persoalan mendasar yang menurut Usman perlu menjadi bahan perhatian terkait keuangan KONI.Selama ini, dana yang ada di tubuh KONI seringkali tidak mencukupi untuk membiayai kegiatan keolahragaan. Di sisi lain, sistem pinjam-meminjam atau dana talangan juga selalu terjadi karena kondisi yang memaksa demikian. Biasanya, dana APBD baru dapat dicairkan April atau Mei. Sedangkan kebutuhan untuk kegiatan olahraga selalu ada sejak Januari.
“Jadi, karena dana APBD belum cair, sering ada pinjam-meminjam antara KONI dengan pemerintah provinsi. Pinjamnya ke kas daerah juga sebelum anggaran cair,” jelasnya. Selain itu, administrasi pertanggungjawaban keuangan di tubuh KONI pun menurutnya kurang rapi atau kurang sesuai dengan standar yang dipakai BPK sehingga pada akhirnya dianggap temuan oleh lembaga auditor tersebut. Menurut Usman, tidak tertib administrasi tersebut antara lain disebabkan oleh keterbatasan SDM pengurus. Rata-rata pengurus bukanlah petugas yang khusus menguasai bidang itu. Para pengurus KONI sebagian besar hanya orang-orang yang “nyambi” alias sambilan di samping tugas rutin sehari-hari sehingga mereka kurang menguasai teknis administrasi atau akuntansi. “Kadang-kadang bukti pengeluarannya hanya berupa kuitansi. Nah, BPK tidak mau begitu. Sama seperti kalau kita memberikan bantuan rehab rumah ibadah, tidak bisa buktinya hanya kuitansi. Sesuai standar BPK, harus ada rincian berapa untuk beli semen, upah dan lain-lain,” jelas Usman. Selain itu, ada kalanya persoalan administrasi ini terkait pula dengan ketersediaan dana. Bantuan yang diberikan pemerintah seringkali tidak seratus persen dari kebutuhan sehingga pengumpulan bukti sulit dilakukan.
“Misalnya begini. Satu regu ke Jakarta, ada pengeluaran tiket, hotel, transportasi dan biaya makan. BPK minta ada bukti tiket, hotel dan lain-lain. Padahal, kita sulit minta bukti itu dari atlet karena kadang-kadang kita tidak bantu mereka seluruhnya. Masa’ kita hanya bantu 10 atau 25 persen, tiba-tiba minta bukti tiket dan lain-lain. Kalau minta bukti itu, harusnya kita bantu secara penuh,” paparnya.
Biaya untuk atlet dan pembinaan olahraga diakui memang sering terjadi kekurangan. Kadang-kadang para atlet menyiasatinya dengan mencari sponsor di luar pemerintah. Bahkan, pengurus-pengurus cabang selalu merogoh kocek pribadinya untuk mencukupi kekurangan. “Banyak pengurus yang nombok,” ujarnya.Menyikapi polemik tentang keuangan di tubung KONI, Usman menyarankan agar ada rekrutmen atau penyiapan tenaga khusus yang profesional untuk mengelola administrasi keuangan KONI. Hal ini supaya pembukuan bisa dilakukan secara lebih tertib sesuai dengan standar akuntansi yang dipakai BPK. Tenaga khusus ini bisa dari kalangan PNS yang terlebih dahulu dididik oleh BPK atau Biro Keuangan untuk memegang kas KONI. “Kalau dibiarkan seperti sekarang, sulit untuk tertib. Pengurus KONI rata-rata pejabat yang sibuk, tak punya waktu dan kepengurusan itu sifatnya sukarela,” katanya. (rnl)