PONTIANAK — Pemerintah Kota (Pemkot) Pontianak didesak untuk membeberkan siapa-siapa pengguna anggaran Bantuan Sosial (Bansos) Tahun Anggaran 2008 yang menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Pontianak. Selain itu Pemkot juga harus memberkan besaran alokasinya kepada publik melalui media massa. ”Karena bisa jadi aliran anggaran hanya berputar di kalangan terdekat saja. Hanya pemerintahan yang profesional yang berani untuk transparan,” kata Indra Aminullah, programme Coordinator Advocacy JARI Indonesia Orwil Borneo Barat kepada Pontianak Post. Bansos sebagai salah satu mata anggaran yang menyebabkan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) 2008 Kota Pontianak mendapat predikat disclaimer opinion oleh BPK. Ini menurut dia, seharusnya tidak perlu terjadi jika Pemkot mau dengan legowo menerima kritik yang dibangun beberapa tahun terakhir. ”Pada dasarnya tidak ada problem yang mendasar jika Pemkot bisa mempertanggungjawabkan siapa-siapa penerima anggaran bansos tahun 2008 berikut besaran alokasinya,” kata Indra.
Jika penerima anggaran bansos tersebut jelas, dari data tersebut akan terlihat keberpihakan bantuan teralokasi ke kelompok mana saja. Dia tak memungkiri bahwa dalam iklim politik praktis seperti ini, banyak kelompok studi atau komunitas yang fiktif hanya sebagai kanalisasi kekuasaan yang berdiferensiasi menjadi mesin politik. Untuk itu, harus diketahui secara detail siapa yang memiliki lembaga tersebut, bagaimana anatomi relasinya, dan lainnya. Indra menduga, bisa jadi lembaga yang disodorkan secara formal merupakan organisasi yang berkedok sosial, tetapi memiliki unsur titipan dari pihak-pihak tertentu. ”Karena kita tidak memungkiri bahwa relasi korupsi seperti itu juga terjadi. Sehingga distribusi anggaran harus jelas pertanggungjawaban serta mekanisme dan output yang terukur sebelum diberikan bantuan,” ujarnya.
Realisasi anggaran seharusnya disesuaikan dengan kinerja yang diberikan oleh sub unit penerima anggaran pemerintah. Artinya semakin tinggi anggaran yang diberikan, berdampak terhadap semakin berkualitasnya pelayanan kepada masyarakat. ”JARI sudah mengingatkan pada Pemkot Pontianak bahwa akan ada problem pada penganggaran tahun 2008 terkait dengan belanja bantuan sosial, di mana tren anggaran pada Pos Belanja Bantuan Sosial dan hibah meningkat, hingga Rp35,3 miliar,” kata dia.
Hal ini berbanding terbalik jika dibandingkan dengan anggaran untuk penanganan masalah kesejahteraan masyarakat marjinal Kota Pontianak yang hanya sejumlah Rp120 juta atau sekitar 0,3 persen dari biaya bansos tersebut. Jika dibandingkan dengan program penanggulangan kemiskinan daerah Kota Pontianak, hanya menggunakan anggaran sebesar Rp156 juta atau 0,44 persen dari total anggaran belanja bantuan sosial. Jika Pemkot waktu itu beralasan bahwa alokasi sudah dibahas di DPRD, maka ada beberapa argumen untuk menjelaskan hal tersebut. Pertama, kata Indra, tidak mungkin DPRD mengkaji satu persatu mata anggaran yang ada dalam RAPBD secara detail dengan waktu yang singkat. Secara keseluruhan dewan hanya mengkaji hal-hal yang bersifat umum. Mereka tidak mungkin sanggup dengan detail mengkaji dengan eksekutif yang hanya menyerahkan RAPBD pada penghujung waktu deadline final pembahasan.
Kedua, tidak menutup kemungkinan terjadi kesepakatan politik antara legislatif dan eksekutif dalam pembahasan APBD tersebut. ”Hal ini berkaitan erat dengan pembagian anggaran proyek yang disepakati di belakang ruang rapat dan mata anggaran yang lainnya,” duganya.
Selain total belanja bansos plus hibah yang bernilai Rp35,3 miliar tersebut, terdapat mata anggaran tambahan berupa belanja untuk inventarisasi belanja bansos Rp144,2 juta dalam Pos BPKKD. ”Selama ini tidak pernah terekspos secara transparan berapa proposal yang masuk dan berapa yang diberikan bantuan, sehingga wajar jika semua pihak mencoba untuk meminta penjelasan lebih lanjut karena tren politik anggaran seperti ini terjadi tiap tahunnya. Bahkan terjawab dengan permasalahan pada mata anggaran tersebut juga tiap tahunnya,” kata Indra. (zan)