Oknum BPK Garap Laporan Aset Pemprov
Equator. Pontianak. Keputusan BPK tidak menyatakan pendapat (Disclaimer Opinion/DO) terhadap laporan keuangan Pemprov Kalbar tahun 2008 berbuntut panjang. Dasar hukum dan keterlibatan oknum BPK dalam penyusunan laporan dikritisi. Sekda dan Kepala Biro Aset dianggap kurang paham aturan. Selama ini Biro Aset sudah kerjasama secara individu-individu dengan lembaga pemeriksa yang punya kapasitas untuk menilai, ungkap kepala Biro Aset Pemprov Kalbar, Kartius SH kepada wartawan usai rapat paripurna penyampaian pandangan akhir fraksi terhadap laporan keuangan Pemprov di gedung DPRD Kalbar, belum lama ini. Meski tidak menyebut kapan kerjasama itu dimulai, namun Kartius mengaku kondisi itu menyulitkan pihaknya. Penyebabnya, karena sering terjadi perbedaan persepsi antara masing-masing individu yang telah dianggapnya sebagai konsultan tersebut. Maksudnya kita kan, kita kerja sama dengan lembaganya itu. Dengan begitu, kalau satu ngomong, siapa pun memeriksa dari lembaga itu ndak beda persepsi, imbuh Kartius. Disinggung tentang unsur oknum pemeriksa yang punya kapasitas untuk menilai tersebut, dengan gamblang Kartius menyebutkan dua lembaga yang memiliki keterkaitan erat dalam proses pemeriksaan keuangan. Dari BPK ada. Dari BPKP juga ada, jawabnya. BPK memberi DO lantaran sejumlah item laporan keuangan yang disusun Pemprov Kalbar tidak dapat diyakini keandalannya. Jumlah temuan terbanyak berada pada biro aset, mencapai Rp 1,14 triliun. Menurut Kartius, pihaknya sudah berupaya semaksimal mungkin untuk menertibkan pembukuan aset milik Pemprov Kalbar. Seluruh aset yang dimiliki daerah ini sudah dicatat dan dibukukan, baik jumlah, volume dan jenisnya. Cuma masalahnya sekarang, nilai nominalnya itu. Pakai SAP (Standar Akuntansi Pemerintahan, red), kalau tidak ada sertifikat kan dihitung Rp 1,†ucapnya. Sebaliknya, kata Kartius, kalau berdasarkan Kepmen (Keputusan Menteri) Nomor 17 Tahun 2007 tentang pedoman teknis pengelolaan aset serta Kepmendagri nomor 12 Tahun 2003 tentang pedoman penilaian barang daerah, biar tidak ada sertifikat, kalau nilainya Rp 10 juta, tetap dicatat sepuluh juta. Itu yang membuat disclaimer, jabarnya. Pihak aset juga sudah menjembatani perbedaan persepsi tersebut. Kalau tidak usah pakai Kepmen, ya kita pakai SAP. Tapi boleh ndak itu (Kepmen, red) dicabut atau ndak digunakan. Sebab, laporan aset itu ke Menteri Dalam Negeri, bukan ke BPK dan BPKP, ujarnya sedikit bertanya. Selain Kartius, perbedaan persepsi ini juga pernah diungkapkan Sekda Kalbar, Syakirman. Seperti diberitakan beberapa media belum lama ini, Syakirman menilai ada perbedaan peraturan yang mendasari pengelolaan data, penyusunan neraca dan penyusunan inventaris barang daerah. Menurutnya, penyusunan inventaris barang daerah mengacu pada Permendagri nomor 17 Tahun 2007. Sedangkan penyusunan neraca mengacu kepada PP Nomor 24 tahun 2005 tentang SAP. Pernyataan Kartius dan Syakirman ini disikapi serius pihak BPK perwakilan Kalbar. Kepala Sub Auditorat Kalbar I, Gunarwanto SE AK MM membantah keras semua pernyataan tersebut. Sebenarnya, ketiga peraturan itu sama dan tidak bertentangan. Hanya penerapannya saja yang harus dilakukan pada masing-masing hal yang berbeda, tegas Gunarwanto dikonfirmasi Equator di kantornya, Kamis (6/8). Didampingi Humas BPK, Sigit, Gunarwanto menjelaskan, sesuai dengan SAP, aset tetap harus dinilai berdasarkan harga perolehan. Jika tidak didapat harga perolehannya, penilaian aset berpedoman dengan Kepmendagri no 12 Tahun 2003, bebernya. Informasi seputar kondisi aset tetap, tahun perolehan, harga perolehan dan letak atau keberadaan aset tetap, pengaturannya berpedoman pada Permendagri nomor 17 Tahun 2007. Sementara PP nomor 24 menjadi pedoman untuk mencatat prosesnya melalui Kepmendagri tadi pada laporan neraca keuangan, kata dia. Gunarwanto menilai, ungkapan yang dilontarkan Kartius maupun Syakirman didasari karena menganggap ketiga aturan itu bertentangan. Mereka (Kartius dan Syakirman, red) tidak memahami aturan terhadap penempatan laporan itu, tegasnya. Soal indikasi oknum BPK yang ikut terlibat menggarap laporan keuangan, Gunarwanto juga membantah keras. Menurutnya, secara instansi maupun, BPK tidak diperkenankan untuk bekerja sama dengan objek terperiksa dalam penyusunan anggaran, terkecuali memberikan masukan. Bagi yang melanggar, sanksinya ada. Berat ringannya tergantung sejauh mana keterlibatannya. Kalau memang merasa ada bekerja sama dengan oknum anggota BPK, tunjukkan saja orangnya, tantang Gunarwanto. (bdu)